Home » News

CATATAN PENTING UNTUK MENJADI UMMATAN WASATHAN

LANJUTAN…

Beberapa Catatan Penting Untuk Menjadi Ummatan Wasathan antara lain:

Pertama, keberadaan umat Islam dalam posisi tengah, membawa mereka tidak seperti umat yang dibawa hanyut oleh materialisme, tidak pula mengantarnya membumbung tinggi ke alam ruhani sehingga tidak berpijak ke bumi. Posisi tengah mejadikan mereka mampu memadukan ruhani dan jasmani, material dan spiritual, dalam segala sikap dan aktivitas mereka.

Wasathiyah (moderasi/posisi tengah) mengundang umat Islam berinteraksi, berdialog dan terbuka dengan semua pihak (agama, budaya, peradaban) karena bagaimana mereka dapat menjadi saksi atau berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global?

Kedua, posisi pertengahan menjadikan umat Islam/seorang Muslim dilihat oleh siapa pun dalam penjuru yang berbeda dan ketika itu ia dapat menjadi teladan bagi semua pihak. Posisi itu juga menjadikannya dapat menyaksikan siapa pun dan di mana pun.

Di sisi lain, kedudukan Nabi Muhammad SAW yang dijadikan saksi dan teladan bagi umat Islam menjadikan mereka hendaknya meneladani Nabi Muhammad SAW dalam nilai-nilai yang beliau ajarkan/terapkan. Dalam Al-Qur’an membenarkan Nabi Muhammad SAW dan bukan sekadar mempercayai beliau tetapi juga meneladani beliau dengan cerdas.

فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُو

Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk” (QS. Al-A’araf 158).

Ketiga, kedudukan umat Islam dan pribadi Muslim sebagai ummatan wasathan, dalam arti adil, menuntut umatnya menegakkan keadilan kapan dan di mana pun serta terhadap siapa pun.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu” (QS. An-Nisa 135).

Allah juga memperingatkan bahwa:

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ

“Janganlah sekali-kali kebencianu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil” (QS. Al-Maidah 8).

Keempat, ajaran dan tuntutan Islam pun yang berada dalam posisi pertengahan menjadikan semua ajaran Islam bercirikan moderasi, baik ajaran tentang Tuhan, dunia dan kehidupan, yakni dalam akidah, syariah dan akhlak yang diajarkan.

Islam memandang dunia tidak diingkari wujudnya atau dinilai maya. Tetapi tidak juga berpandangan bahwa dunia adalah segalanya. Pandangan Islam tentang hidup adalah di samping ada dunia, ada juga akhirat. Keberhasilan di akhirat ditentukan oleh iman dan amal saleh di dunia. Manusia tidak boleh tenggelam dalam materialism, tidak juga membubung tinggi dalam spiritualisme. Ketika pandangan mengarah ke langit, kaki harus tetap berpijak di bumi.

Ummatan wasathan diperintah menjadi profesional

وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُون

Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.  (QS. Al-Qashash 73).

Islam mengajarkan umatnya agar meraih materi duniawi, tetapi dengan nilai-nilai langit/samawi. Yang diajarkan untuk dilakukan sambil dimohonkan:

وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Tuhan kami! Anugerahkanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. al-Baqarah 201).

Bangun salat malam dianjurkan, tetapi saat ada yang jatuh sakit ketika melakukannya, atau terpaksa meninggalkan kewajibannya bekerja, belajar dan berjuang, maka Allah menurunkan alternatif pengganti agar gabungan dunia-akhirat, material-spiritual, sama-sama terpenuhi.

عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَىٰ ۙ وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ ۙ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ۚ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا ۚ

Allah mengetahui bahwa akan ada d iantara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an dan laksanakanlah shalat, dan tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (QS. Al-Muzzammil 20).

Islam tidak menghalangi seseorang memenuhi kebutuhan faali/fisiknya, makan, minum dan hubungan seks, tetapi dalam saat yang sama Islam menghendaki agar pemenuhannya dikemas dalam bingkai spiritual.

Islam mewajibkan berpuasa, dia juga membolehkan pada malam bulan puasa untuk bercampur dengan pasangan (QS. Al-Baqarah ayat 187). Dengan demikian, puasa tidak harus menjadikan seseorang terlepas sepenuhnya dari unsur-unsur jasmaniahnya. Seks adalah kebutuhan pria dan wanita karena menurut ayat itu para istri adalah pakaian buat suami, demikian juga sebaliknya. Jika demikian, kalau dalam kehidupan normal, seseorang tidak dapat hidup tanpa busana, maka demikian juga keberpasangan tidak dapat dihindari hubungan seks kendati di bulan puasa tidak dapat dilarang.

Dengan demikian, dalam wasathiyah Islam ditemukan juga sifat rabbaniyah dan insaniyah. Rabbaniyah dalam arti ajarannya bersumber dari Allah SWT pemelihara alam raya, bukan bersumber dari manusia. Yang halal atau yang haram adalah yang dihalalkan dan diharamkan Allah. Nabi Muhammad SAW hanya berfungsi menyampaikan sambil menjelaskan melalui ucapan, sikap dan contoh pengalamannya.

Sedang insaniyah/kemanusiaan, karena ajarannya ditunjukkan kepada manusia, maka semua tuntutannya sesuai dengan fitrah manusia. Tidak satupun yang tidak sejalan dengan jiwa kecenderungan positif manusia. Karena itu, seperti dikemukakan di atas, Islam tidak mengharamkan penyaluran kebutuhan seksual, bahkan menilainya sebagai ibadah selama tidak mengantar kepada runtuhnya nilai kemanusiaan.

Islam tidak hanya memuaskan pikir dan nalar, tetapi juga jiwa dan rasa. Teks wahyu harus diperhatikan bahkan tidak diabaikan, tetapi memahami teks tidak boleh terlepas dari peranan akal. Demikian washathiyah/moderasinya dan memang kebaikan adalah pertengahan antara dua ekstrem.

Disarikan dari pengarahan Bapak H. Abdullah Yazid selaku Ketua Pengurus KSPPS BMT BUS

Redaktur